Analisis Gempabumi Cipatujah, Tasikmalaya 15 Desember 2017 Mw 6,5

Gambar 1. Peta yang menunjukkan lokasi episenter gempa bumi relatif terhadap model slab zona subduksi USGS (Hayes dkk., 2012). Juga ditunjukkan hasil bola fokal gempa dari USGS.

Pada tanggal 15 Desember 2017, sebagai penutup hari, terjadi gempa bumi tektonik dengan kekuatan Mw 6,5 di selatan Jawa Barat. USGS merilis gempa terjadi pukul 16:47:56 UTC atau 23:47:56 WIB (local time). Gempa bumi ini dirasakan oleh masyarakat banyak bahkan dirasakan hingga di Jakarta dengan intensitas II-III MMI. BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami atas gempa ini dan kemudian telah dicabut pada pukul 02:28 WIB (local time). Dampak dari gempa ini di antaranya yaitu beberapa rumah roboh dan bangunan retak-retak di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Pusat gempa berada pada koordinat 7,734° Lintang Selatan (LS), 108.023° Bujur Timur (BT) pada kedalaman 91,9 km. Menurut hasil pemodelan sumber gempa memakai metode W-phase moment tensor, USGS menunjukkan sumber gempa bertipe penyesaran oblique naik. Pemodelan dengan metode W-phase moment tensor menghasilkan beach ball mekanisme pusat gempa yang dianggap sebagai suatu sumber titik dengan dua kopel: bidang nodal pertama dengan parameter strike 151°, dip 75°, rake 31° dan bidang nodal kedua dengan parameter strike 52°, dip 60°, rake 162°. Global CMT merilis hasil mekanisme sumber gempa yaitu gempa yang berlokasi di 108,08° BT, 7,93° LS pada kedalaman 115,5 km, bidang nodal pertama dengan parameter strike 53°, dip 58°, slip 163° dan bidang nodal kedua dengan parameter strike 152°, dip 76°, slip 33°

Mengkonfirmasi hasil yang dirilis USGS, GFZ juga mendapatkan hasil analisis yang mirip. Pusat gempa berada pada koordinat 108,11° BT, 7,68° LS pada kedalaman 109 km dengan kekuatan 6,5 Mw. Hasil pemodelan mekanisme sumber menggunakan metode moment tensor juga mendapatkan hasil yang mirip dengan USGS. Mekanisme sumber gempa dimodelkan dengan bidang nodal pertama dengan strike 153°, dip 72°, slip 36°, dan bidang nodal kedua dengan parameter strike 51°, dip 56° dan slip 158°. EMSC juga merilis hasil yang sangat mirip dengan keduanya: lokasi di 7,68° LS, 108,14° BT, kedalaman 111, 9 km dengan magnitudo 6,5. Hasil ketiga lembaga tersebut juga didukung IRIS dengan mengeluarkan parameter lokasi di 7,73° LS, 108,023° BT pada kedalaman 91,86 km, dengan magnitudo Mww 6,5. SCARDEC-Geoscope (Gambar 3) juga mendukung hasil semua lembaga di atas.

Gambar 2. Hasil pemodelan sumber gempa dengan metode back-projection yang merupakan salah satu produk dari IRIS.

Merujuk pada hasil observasi USGS dan GFZ, ditinjau dari lokasi pusat gempa dan kedalamannya, gempa terjadi di dalam slab (intra slab) atau berada dalam kerak oseanik yang menunjam ke bawah lempeng kontinental. Secara umum, kerak oseanik memiliki ketebalan yang lebih kecil daripada kerak kontinental. Rata-rata ketebalan kerak oseanik Indo-Australia yaitu 15 km merujuk pada Shulgin dkk. (2011) dan Serhalawan dkk. (2017). Memperhatikan bahwa di bawah episenter gempa, kedalaman slab subduksi yaitu sekitar 71 km (lihat Gambar 1), maka sangat dapat dipastikan bahwa gempa Mw 6,5 ini terjadi di dalam slab kerak oseanik yang menunjam yang kira-kira pada lokasi koordinat tersebut, slab oseanik berada pada kedalaman sekitar 70-100 km. Salah satu contoh gempa mematikan yang berasal dari kerak oseanik yang menunjam yaitu gempa Padang tahun 2009 dengan kekuatan Mw 7,6.

Apabila kita memperhatikan lebih jauh, IRIS merilis produk hasil pemodelan rupture gempa dengan metode back-projection, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pada gambar tersebut ditunjukkan pemodelan rupture yang dibuat menggunakan dataset yang berbeda. Pemodelan yang menggunakan data dari stasiun-stasiun GSN (Global Seismic Network) IRIS mendukung bidang nodal gempa utama dengan parameter strike 52°, dip 60°, rake 162°, atau dengan kata lain, bidang penyesaran (fault plane) kemungkinan besar adalah bidang dengan arah baratdaya-timur laut, dengan dip sekitar 60 derajat. Melihat lebih jauh pada beach ball mekanisme gempa ini, dapat disimpulkan bahwa gempa ini memiliki mekanisme: penyesaran dengan pergerakan lateral menganan dengan komponen inverse pada suatu dipping sesar sekitar 50-60 derajat ke tenggara.

Gambar 3. Hasil pemodelan mekanisme sumber dengan metode SCARDEC (Vallee dkk., 2011)

 

Produktivitas Aftershocks Rendah
Ditinjau dari hasil pemantauan BMKG, gempa ini tergolong memiliki produktivitas aftershocks yang cukup rendah. BMKG Pusat Gempabumi Regional II mencatat hingga pukul 06:30 WIB (local time) hari berikutnya hanya tercatat 12 gempa susulan. Bandingkan dengan gempa M 6,5 yang terjadi di Pidie Jaya, Aceh bulan Desember 2016, tercatat 47 gempa dalam 7 jam (menggunakan jaringan seismik BMKG). Dalam hal ini perlu diperhatikan juga kapabilitas deteksi jaringan seismik mengingat lokasi gempa yang punya kedalaman menengah. Tetapi secara umum, dapat dipastikan bahwa gempa ini memiliki produktivitas gempa susulan yang cukup rendah.

Merujuk pada Wetzler dkk. (2016), produktivitas gempa susulan dipengaruhi oleh faktor stress koseismik. Gempa-gempa dengan stress-drop yang lebih tinggi memproduksi gempa susulan lebih sedikit. Menurut Marsan dan Helmstetter (2017), produktivitas gempa susulan bergantung pada:

  • Laju slip post-seismic.
  • Heat flow yang mempengaruhi viskositas.
  • Mekanisme penyesaran. Gempa sesar naik memproduksi lebih banyak gempa susulan yang mungkin berkaitan dengan perubahan stress Coulomb yang lebih besar.
  • Karakter rupture. Rupture super-shear habis pada gempa-gempa susulan pada bidang sesar (on-fault aftershocks), sementara pemicuan dinamis (transient) oleh gelombang seismik dapat memicu gempa-gempa di luar sesar utama (off-fault aftershocks). Slow rupture terobservasi memicu lebih sedikit aftershocks dibanding fast rupture. Mungkin, dikecualikan pada kasus swarm yang tidak memiliki gempa utama (mainshock).
  • Jumlah foreshocks. Ada hubungan yang jelas antara foreshocks dan aftershocks, yang mungkin berkaitan dengan preslip yang berlanjut di fase post-seismik.
  • Karakteristik gempa utama khususnya stress drop dan heterogenitas spasial distribusi slip.

Wilayah selatan pulau Jawa memang kerap mengalami gempa-gempa yang berasal dari kerak oseanik yang menyusup ke bawah lempeng kontinental Eurasia. Salah satu contoh yang pernah terjadi yaitu gempa Kebumen, 25 Januari 2014 dengan kekuatan Mw 6,2 (lihat Gambar 4). Tetapi bedanya, gempa 2014 ini terjadi pada posisi kerak oseanik yang lebih dangkal dan memiliki mekanisme penyesaran normal (sesar turun) (Serhalawan dkk., 2017).

hist

Gambar 4. Posisi episenter gempa yang memiliki kedalaman intermediate 50-300 km di selatan Jawa bagian barat dari katalog Global CMT. Turut ditampilkan mekanisme tiga gempa dengan karakter yang berbeda pada kedalaman yang berbeda.

Kita dan Katsumata (2015) dalam penelitian di Jepang menunjukkan bagaimana perbedaan antara gempa-gempa yang terjadi di kerak oseanik yang menunjam di zona subduksi. Gempa-gempa di intraslab menunjukkan stress drop (~ 10 – 157 MPa) secara umum meningkat seiring dengan peningkatan kedalaman. Stress drop pada gempa-gempa kerak oseanik berkurang (9.9-6.8 MPa) seiring kedalaman 70-120 km, tetapi meningkat signifikan (6.8-17 MPa) seiring kedalaman 120-170 km. Peningkatan stress drop pada kerak oseanik dengan kedalaman 120-170 km ini berhubungan dengan peningkatan kecepatan dan berkurangnya konten fluida dikarenakan batas fase dengan dehidrasi fluida di kerak oseanik. Perlu dicatat bahwa slip gempa memerlukan fluida untuk melumuri (to lubricate) bidang penyesaran sebagai bidang gelincir.

Pada 16 Desember 2017 pukul 00:22 UTC terdapat gempa dengan M 5,3 (GFZ) pada koordinat 106,75° BT, 8,13° LS pada kedalaman 48 km. Masih diperlukan analisis lebih lanjut apakah gempa ini termasuk dalam satu zona sumber yang sama dengan gempa Mw 6,5 atau memiliki zona yang berbeda. Bisa jadi gempa ini berada di zona yang berbeda merujuk kedalamannya yang lebih dangkal tetapi terpicu oleh gempa sebelumnya baik melalui transfer stress statis dan/atau stress dinamis oleh gelombang seismik.

Memiliki Foreshock?

BMKG mencatat pada jam 16:04 UTC atau 23:04 WIB (sekitar 40-an menit sebelum gempa utama), terdapat satu gempa dengan lokasi yang dekat dengan gempa utama. Gempa ini tercatat berlokasi di 7,38° LS, 106,63° BT, dengan magnitudo 4,7. Masih belum jelas apakah gempa ini berkaitan dengan gempa Mw 6,5, diperlukan analisis lebih lanjut.

IRIS mencatat sebelum kejadian tanggal 15 Desember 2017, terdapat dua kejadian gempa lainnya dengan kedalaman intermediate di sekitar zona gempa Mw 6,5 ini. Gempa pertama terjadi tanggal 17 November 2017 dengan mb 4,4, terjadi pada koordinat 7,545° LS, 107,2823° BT pada kedalaman 111,39 km. Gempa selanjutnya terjadi tanggal 12 Desember 2017 dengan mb 4,5 pada koordinat 7,2203° LS, 107,0503° BT, pada kedalaman 94,67 km.

Artinya kemungkinan ada tiga gempa pendahuluan (foreshocks) dengan magnitudo di atas M 4 terjadi sebelum gempa utama Mw 6,5.

 

Kesimpulan

Jika kita menghubungkan hasil-hasil riset di atas, dapat ditarik hipotesis sementara sebagai berikut: gempa Mw 6,5 yang terjadi tanggal 15 Desember 2017 ini berada di kerak oseanik yang menunjam dengan mekanisme penyesaran dengan orientasi ke arah timurlaut, dengan dip sekitar 50-60 derajat ke arah tenggara, pada kedalaman intermediate (menengah) dengan nilai stress drop yang tinggi sehingga menghasilkan sedikit gempa susulan.

 

Referensi:

Hayes, G. P., Wald, D. J., & Johnson, R. L. (2012). Slab1. 0: A three‐dimensional model of global subduction zone geometries. Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 117(B1).

Kita, S., & Katsumata, K. (2015). Stress drops for intermediate‐depth intraslab earthquakes beneath Hokkaido, northern Japan: Differences between the subducting oceanic crust and mantle events. Geochemistry, Geophysics, Geosystems, 16(2), 552-562.

Marsan, D., & Helmstetter, A. (2017). How variable is the number of triggered aftershocks?. Journal of Geophysical Research: Solid Earth.

Serhalawan, Y. R., Sianipar, D., & Suardi, I. (2017). The January 25th, 2014 Kebumen earthquake: A normal faulting in subduction zone of Southern Java. In AIP Conference Proceedings (Vol. 1857, No. 1, p. 030002). AIP Publishing.

Shulgin, A., Kopp, H., Mueller, C., Planert, L., Lueschen, E., Flueh, E. R., & Djajadihardja, Y. (2011). Structural architecture of oceanic plateau subduction offshore Eastern Java and the potential implications for geohazards. Geophysical Journal International, 184(1), 12-28.

Vallée, M., Charléty, J., Ferreira, A. M., Delouis, B., & Vergoz, J. (2011). SCARDEC: a new technique for the rapid determination of seismic moment magnitude, focal mechanism and source time functions for large earthquakes using body-wave deconvolution. Geophysical Journal International, 184(1), 338-358.

Wetzler, N., Brodsky, E. E., & Lay, T. (2016). Regional and stress drop effects on aftershock productivity of large megathrust earthquakes. Geophysical Research Letters, 43(23).

 

List of Events with Depth 50-300 km in South of Java from Global CMT: Click Here

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s