Analisis Gempa Banten, 23 Januari 2018 Mw 6,0

Tanggal 23 Januari 2018, pukul 06:34 UTC (13:34 WIB) telah terjadi gempa tektonik dengan episenter berada di selatan perairan Propinsi Banten. Gempa tektonik ini berkekuatan Mw 6,0 (USGS, Global CMT, Scardec-Geoscope). Sementara Geofon GFZ (moment tensor) menentukan magnitudo sebesar 5,9 Mw. BMKG memutakhirkan informasi gempa ini dengan magnitudo 6,1 Mw(mB).

Pusat gempa berada pada koordinat 7,2 derajat LS, 105,9 derajat BT, dengan kedalaman berkisar:

– 43,9 km (USGS),

– 48,0 km (Scardec Geoscope),

– 52,0 km (Global CMT),

– 55,0 km (Geofon GFZ),

– 62,0 km (BMKG updated).

pgv-1750004402.jpg

Gambar 1. Peta posisi gempa (bintang hitam) dan peak ground velocity (PGV) dari BMKG.

Dari segi kekuatan, kedalaman dan jaraknya ke daratan, wajar apabila gempa ini dirasakan oleh banyak orang di wilayah Jawa bagian barat, yaitu di Propinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. Gempa bahkan bisa dirasakan oleh sebagian orang di Propinsi Jawa Tengah dan Lampung.

Informasi sementara dilaporkan bahwa gempa dirasakan sangat kuat oleh masyarakat di wilayah selatan Propinsi Banten dan Jawa Barat. Orang-orang panik dan berhamburan keluar bangunan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan bahwa ratusan bangunan mengalami kerusakan serta adanya penduduk yang mengalami luka akibat runtuhan bangunan. Gempa juga dirasakan kuat di Jakarta terutama oleh orang-orang yang berada di gedung-gedung tinggi di pusat kota.

screenshot_2018-01-23-23-12-02-946-139333978.jpeg

Gambar 2. Lokasi pusat gempa (kotak) dan kontur kedalaman slab subduksi dari USGS (Hayes dkk., 2012).

Posisi pusat gempa ini berada pada slab lempeng oseanik yang menyubduksi ke lempeng kontinenal. Dengan asumsi batas diskontinuitas Moho lempeng kontinental di wilayah ini sekitar 35-45 km, maka dapat dilihat bahwa posisi pusat gempa berada sejajar di sekitar zona transisi deformasi brittle dan ductile di zona subduksi. Slab pada posisi ini mengalami transisi karena menyusup dan berbenturan dengan material yang berbeda komposisi, temperature, densitas dan viskositas (yaitu dari kerak kontinental ke mantel bagian atas).

Posisi pusat gempa yang berada pada kedalaman di atas 43 km (kedalaman versi USGS dan seluruh lembaga), mengarahkan pada kesimpulan bahwa posisi hiposenter berada di dalam slab (intraslab) dari lempeng oseanik yang menyubduksi. Bila dilihat pada gambar 2, di lokasi episenter gempa, kedalaman slab tepat di sekitar 40 km, maka dengan asumsi ketebalan kerak lempeng oseanik sekitar 10-20 km, pada posisi tersebut, slab berada pada kedalaman sekitar +/- 40-60 km (cocok dengan kedalaman pusat gempa ini). Pada posisi ini, menurut model Slab 1.0 (Hayes dkk. 2012), dip (kemiringan) slab subduksi di sana berkisar 20 derajat.

screenshot_2018-01-24-00-00-06-7641559133571.jpeg

Gambar 3. Hasil solusi moment tensor sumber gempa 23 Januari 2018 Mw 6,0 dari GCMT.

Apabila dilihat dari solusi mekanisme sumber (focal mechanism) dari beberapa sumber seperti USGS, Geofon GFZ, Global CMT dan Scardec Geoscope, bidang nodal gempa yaitu: bidang dengan arah penyesaran ke arah baratlaut dengan dip miring sekitar 30-40 derajat; atau bidang nodal dengan arah penyesaran ke timurlaut dengan dip hampir tegak lurus sekitar 80-90 derajat. Mengamati hasil pemodelan mekanisme sumber, gempa disebabkan oleh penyesaran geser dengan komponen oblique naik (lihat Gambar 4).


Gambar 4. Hasil pemodelan sumber gempa dari Scardec-Geoscope.


Gambar 5. Cross-section seismisitas katalog relokasi EHB dari International Seismological Center di sekitar lokasi gempa.

Sekitar tiga jam setelah gempa Banten, terjadi gempa Alaska dengan Mw 7,9 yang berpotensi tsunami. Pertanyaannya, apakah gempa Banten memicu gempa Alaska? Jawabannya yaitu bahwa tidak mungkin gempa Banten Mw 6,0 memicu gempa Alaska Mw 7,9. Alasannya yaitu bahwa hanya ada satu teori yang menjelaskan pemicuan gempa jarak jauh yaitu pemicuan oleh transfer stress dinamis/transien yang dibawa oleh gelombang surface (Rayleigh atau love wave). Kalau dihitung dengan magnitudo surface gempa Banten yaitu Ms 6,0 (GCMT), tidak mungkin bisa menyebabkan gelombang surface yang cukup untuk memicu kenaikan stress signifikan di Alaska sehingga terjadi gempa besar di sana. Kalau gempa Banten memiliki magnitudo yang jauh lebih besar, kondisi ini akan logis, tetapi kenyataannya tidak. Kalau kita tetap mau menghubung-hubungkan gempa Banten dan gempa Alaska, mungkin hubungannya hanya satu, keduanya sama sama terpicu oleh transfer stress eksternal. Dalam hal dapat dipicu oleh transfer stress eksternal ini, ada dua hipotesis yang dapat diajukan. Pertama, pemicuan oleh tidal stress (perlu dicek). Kedua, pemicuan oleh gempa besar sebelumnya yang menyebabkan transfer stress global dalam beberapa bulan terakhir, kecurigaannya yaitu gempa Mexico September 2017 lalu dengan Mw 8,2 yang mungkin bisa menyebabkan delayed transient stress triggering. Mekanisme pemicuan dinamis delayed ini telah banyak dibuktikan oleh riset-riset terbaru.

Penulis cenderung berpendapat bahwa tidak ada kaitannya antara gempa Banten dan gempa Alaska walau keduanya hanya terpaut sekitar tiga jam. Gempa Banten justru memunculkan satu hipotesis, yaitu apakah gempa ini terpicu oleh gempa intermediate depth Mw 6,5 yang terjadi di selatan Jawa pada 15 Desember 2017 silam. Pada saat itu, beberapa jam setelah gempa utama Mw 6,5, terjadi cukup banyak gempa di kedalaman yang lebih dangkal di sebelah barat episenternya. Walaupun posisi rangkaian gempa dangkal terpicu tersebut tidak cukup dekat (sedikit ke timur) dengan zona sumber gempa Banten 2018 ini, setidaknya ada bukti yang menunjukkan interaksi antar sumber gempa di selatan Jawa. Untuk membuktikan interaksi antara gempa intermediate depth dengan gempa dangkal di zona subduksi selatan Jawa ini, perlu dilakukan analisis lebih lanjut di antaranya dengan melakukan pemodelan sumber gempa yang lebih terperinci, dan analisis deformasi dengan data seismik dan GPS, seperti yang sudah dicontohkan oleh beberapa riset di zona subduksi lain.

To be continued. Artikel ini akan diperbaharui secepatnya.

Hualien, Taiwan, 23 Januari 2018.

Advertisement

Analisis Gempabumi Cipatujah, Tasikmalaya 15 Desember 2017 Mw 6,5

Gambar 1. Peta yang menunjukkan lokasi episenter gempa bumi relatif terhadap model slab zona subduksi USGS (Hayes dkk., 2012). Juga ditunjukkan hasil bola fokal gempa dari USGS.

Pada tanggal 15 Desember 2017, sebagai penutup hari, terjadi gempa bumi tektonik dengan kekuatan Mw 6,5 di selatan Jawa Barat. USGS merilis gempa terjadi pukul 16:47:56 UTC atau 23:47:56 WIB (local time). Gempa bumi ini dirasakan oleh masyarakat banyak bahkan dirasakan hingga di Jakarta dengan intensitas II-III MMI. BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami atas gempa ini dan kemudian telah dicabut pada pukul 02:28 WIB (local time). Dampak dari gempa ini di antaranya yaitu beberapa rumah roboh dan bangunan retak-retak di Tasikmalaya, Jawa Barat. Continue reading

Tutorial for Teleseismic Body-Wave Inversion Program

We need to know the spatial and temporal behaviors of the earthquake’s rupture in order to study the physics of earthquake sources.

This is one of the fundamental methods proposed by Professor M. Kikuchi and Professor Hiroo Kanamori [Link] to calculate teleseismic body-wave inversion for modeling the earthquake source.

Nowadays, there are many methods and approaches to computing more information about the detailed rupture process. An excellent paper review has been done by Professor Satoshi Ide [Link 1, Link 2] entitled “Slip Inversion” as a book chapter in Treatise on Geophysics [Link]. This paper provides us detail explanation and development history of the methods/theories about slip inversion of the earthquake.

There is also a helpful book written by Prof. Agustin Udias, Prof. Raul Madariaga, and Prof. Elisa Buforn, entitled “Source Mechanisms of Earthquakes, Theory, and Practices” [Link]. This book also provides the detail theories, methodology, and some technical issues to provide the source mechanism of the earthquake. Continue reading

Tutorial to Calculate Stress Changes by Earthquakes

(1) STATIC STRESS CHANGES

ΔCFF = Δτ + μ(Δσn + ΔP)

or ΔCFF = Δτ + μ’ Δσn

We can calculate static stress changes using software Coulomb [Link]

Assumption: computed in a homogeneous elastic half-space (Okada, 1992) [Link]

Some parameter need:

μ’ = 0.4  [possible value 0.0 -0.8] [Link] Strong fault: large μ (> 0.5). For example Sandstone, μ=06~0.8. Continue reading

Sinyal Seismik Ujicoba Nuklir Korea Utara 9 September 2016

Pada tanggal 9 September 2016, stasiun-stasiun seismik di hampir seluruh dunia kembali kedatangan sinyal seismik yang tidak biasanya. Sinyal dari aktivitas seismik tidak biasa ini (unusual seismic event) ini ternyata bersumber dari wilayah Korea Utara. Berdasarkan kemiripan dengan sinyal-sinyal serupa yang telah terjadi beberapa kali sebelumnya, disimpulkan bahwa kejadian ini merupakan ujicoba nuklir bawah tanah Korea Utara yang ke-5 (atau ke-6). Continue reading

Analisis Gempa Sumatera 2 Maret 2016 Mw 7,8

Telah terjadi gempa signifikan dengan pusat gempa yang berada di 662 km sebelah barat daya Muara Siberut, Kepulauan Mentawai, Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) segera mengeluarkan peringatan dini tsunami kurang dari lima menit sejak terjadinya gempa. Dalam pemutakhiran peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG, disebutkan pusat gempa berada pada koordinat 4,92° LS, 94,39° BT pada kedalaman 10 km. Gempa terjadi pada pukul 19:49 WIB tanggal 2 Maret 2016 ini.

GSI.active

Rekaman seismik gempa 2 Maret 2016 Mw 7,8 di stasiun GSI (Gunungsitoli, Nias)

Menurut United States Geological Survey (USGS), gempa terjadi pada pukul 12:49 UTC, dengan pusat gempa pada koordinat 4.908° LS, 94.275° BT pada kedalaman 24.0 km (14.9 mi). Episenter gempa ini berada di 659 km (409 mi) sebelah barat daya Muara Siberut, Kepulauan Mentawai. Posisi pusat gempa ini memiliki ketidakpastian ± 8.0 km untuk episenter dan ± 1.8 km untuk kedalaman. Perhitungan hiposenter gempa ini menggunakan sebanyak 124 fase gelombang seismik dengan jarak stasiun terdekat 778.79 km. Parameter gempa USGS ini cukup baik karena dihitung dengan distribusi stasiun dengan azimuthal gap sebesar 26 derajat. Sementara residual waktu tempuh perhitungan sebesar 1,59 sekon.

Posisi pusat gempa menunjukkan bahwa gempa ini kemungkinan besar tidak disebabkan oleh mekanisme subduksi lempeng. Posisi pusat gempa jauh di sebelah barat palung Sunda tempat zona subduksi berada. Berbeda dengan gempa Mentawai yang terjadi 25 Oktober 2010 yang menimbulkan tsunami. Gempa Mentawai 2010 memiliki sistem yang berbeda dengan gempa 2 Maret 2016 ini, karena gempa 2010 merupakan gempa yang terjadi pada sistem subduksi interplate. Gempa 2010 dikategorikan gempa tsunami earthquake yaitu gempa yang menimbulkan tsunami dengan magnitudo tsunami yang lebih besar dari yang diestimasi dari magnitudo seismik-nya, dikarenakan beberapa faktor yang mengamplifikasi besarnya tsunami. Jadi berbeda dengan gempa yang terjadi 2 Maret 2016 ini. Continue reading

Gempa Tidak Biasa 6 Januari 2016 di Korea Utara

Pendahuluan

Pada tanggal 6 Januari 2016, terjadi sebuah gempa di kawasan Korea Utara, kawasan yang selama ini menjadi perhatian para ahli seismologi forensik (forensic seismology). Menarik perhatian karena di kawasan sekitar Pegunungan Sungjibaegam, tepatnya lokasi yang sangat dekat dengan fasilitas uji coba nuklir Punggye-ri Korea Utara, menjadi sumber dari rekaman seismik tidak biasa (unusual event) pada 2006, 2009, 2010 dan tahun 2013.

Yang menarik adalah kawasan tersebut bukanlah kawasan yang aktif secara seismik. Bila kita buka katalog gempa dari ISC, USGS, GFZ, rekaman gempa yang terjadi di pegunungan tersebut hanyalah rekaman gempa di sekitar fasilitas uji coba nuklir Punggye-ri pada 2006, 2009 dan 2013 tersebut.

Picture4

Seismisitas di sekitaran semenanjung Korea tahun 2006-2014 (Sianipar et al, 2015b). Gambar ini menunjukkan wilayah darat Korea Utara bukan sebuah wilayah seismik aktif, tidak ada rekaman gempa tektonik dangkal. Bintang merah merupakan episenter gempa Korea Utara 2013.

Uji Coba Nuklir Korea Utara

CTBTO, Badan PBB untuk pemantauan dan verifikasi pelarangan uji coba nuklir, telah mengumumkan secara resmi bahwa Korea Utara telah melakukan uji coba nuklir pada 2006, 2009 dan 2013 (sebanyak tiga kali).

Sementara event yang terjadi pada tahun 2010, masih menjadi perdebatan. Zhang dan Wen (2015) yang juga menganalisis event 2006, 2009 dan 2013, dalam penelitian mereka menyimpulkan bahwa event 2010 merupakan sebuah uji coba nuklir berdaya rendah (a low yield nuclear test) dengan kekuatan 1.44 +- 0.13.

Kesimpulan ini bersumber dari bukti-bukti seismologi yaitu dengan menerapkan metode waveform cross-correlation Match & Locate (M&L) yang mampu mendeteksi gempa-gempa mikro dengan menggunakan sinyal event  sebagai template-nya. Continue reading