“PANGKAS”. By Dimas Sianipar.
.
Saya hitung sudah 1 tahun, 7 bulan 11 hari tinggal di salah satu dari Four Asian Tigers (亞洲四小龍). Negara yang terkenal sebagai pemimpin di industri “chip”: komponen peralatan elektronik dan teknologi. Sebut saja gadget Asus, Acer, HTC, BenQ, perusahaannya berpusat di sini.
.
Selain itu, komponen iPhone juga diproduksi oleh perusahaan sini. Oleh perusahaan Foxconn. Yang kabarnya mau buka pabrik di Amerika. Juga perusahaan perakit iPhone “Pegatron”. Yang juga mau buka pabrik di Indonesia. Di Batam.
.
Juga industri “chip” semi-konduktor yang terkenal itu ada di sini. Nama perusahaannya TSMC. Dan masih banyak lagi. Jadi selagi seluruh dunia masih pakai chip-chip itu di peralatan elektronik dan gadget-nya, negara ini mungkin masih tetap akan kaya. Mungkin.
.
Tiap kali mau pangkas, saya pasti sudah menyiapkan satu foto di HP. Tujuannya, untuk ditunjukkan ke tukang pangkasnya.
.
Sulit rasanya menjelaskan model rambut apa yang saya mau. Kalau pun saya coba jelaskan dengan bahasa mandarin yang saya pelajari, biasanya malah buat mereka bingung. Kadang sampai tertawa.
.
Di situlah sekali-kali saya rasakan manfaat aplikasi Instagram. Yang memuat foto-foto saya dari masa ke masa. Tinggal ditunjukkan saja salah satu foto lama. Yang gaya rambutnya saya suka. Ditunjukkan ke tukang pangkasnya. Gak perlu ngomong.
.
Di pulau ini digunakan bahasa mandarin tradisional. Yang coretannya lebih banyak. Berbeda dengan Tiongkok daratan yang pakai versi yang sudah disederhanakan (simplified chinese). Yang lebih simpel. Di sini digunakan alfabet “zhùyīn fúhào”, yang mana di daratan digunakan “han yu pin yin”, yang memakai huruf latin.
.
Orang-orang di sini juga pelafalan-nya berbeda. Pelafalan ‘zh’, ‘ch’, ‘sh’, ‘r’, di sini tidak begitu kental. Ada juga penggunaan kata yang berbeda. Perbedaan ini mungkin mirip dengan beda bahasa antara Indonesia dan Malaysia.
.
Di sini ngomongnya lebih halus dan suaranya lebih kecil. Mereka juga terkenal ngomong dengan cepat-cepat, tapi halus, “gak nge-gas”. Masyarakatnya justru senang dengan budaya Jepang, karena secara historis dan geografis, mereka dekat.
.
Ada orang tua dari teman saya justru bisa berbahasa Jepang. Anak-anak muda paham bahasa Jepang sedikit-sedikit. Selain itu, para sepuh dan orang tua di sini fasih berbahasa Tai Yu dalam keseharian. Itu bahasa daerahnya. Di Indonesia, dikenal sebagai bahasa Hokkien. Tiap daerah punya logat dan penggunaan kata yang berbeda.
.
Tahun lalu selama dua semester, ikut kuliah bahasa mandarin. Sebagai kewajiban dan persyaratan. Tapi seadanya. Tidak dipaksa harus bisa. Karena itu saya juga belajar seadanya. Mengikuti sedikit-sedikit. Dan sekarang agak menyesal, kenapa dulu tidak “ngotot” harus bisa. Hehehe.
.
Di lingkungan kampus, biasanya pakai bahasa Inggris. Kalau kata kawan-kawan yang pernah ke sini, bahasa Inggris-nya orang sini lebih enak didengar. Lebih mudah dipahami. Karena tidak terbawa logatnya. Berbeda dengan orang Jepang, yang katanya, bahasa Inggris-nya sering terbawa logat Jepangnya. Tentu tidak berlaku bagi semua orang.
.
Dan selama tiga semester sudah terlewati, saya fokus menyelesaikan kuliah di bidang ilmu saya. Rasanya tidak ada waktu untuk benar-benar fokus belajar bahasa mandarin. Toh juga keseharian pakai bahasa Inggris di kampus. Tapi sekarang justru tumbuh keinginan untuk belajar bahasa mandarin. Itu penting.
.
Saat ini, ada tukang pangkas langganan saya di backdoor kampus NCU. Seorang ibu paruh baya. Tempatnya di seberang Family Mart. Beliau sudah tahu kalau saya mahasiswa internasional yang tidak bisa berbahasa mandarin. Biasanya beliau akan senyum-senyum kalau saya masuk.
.
Tak perlu ditanya-tanya lagi. Toh saya juga pangkasnya biasa-biasa saja. Tidak yang aneh-aneh. Kalau di ibu ini, biayanya 220 dollar. Sekitar 100 ribu rupiah sekali pangkas. Ya tipikal di sini memang biaya jasa memang tinggi. Harga barang-barang memang murah. Tapi tidak untuk biaya jasa, cenderung lebih tinggi. Itu sebabnya banyak pekerja migran di sini. Dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dibayar lumayan. Hingga bisa mengirim dollar ke negara asalnya.
.
Per Januari 2019, ada 269 ribu pekerja migran asal Indonesia di negara ini. Cukup potensial. Kalau semua pakai hak pilih, mungkin bisa menempatkan tiga orang wakilnya di DPR. Kalau sepakat memilih orang yang sama. Atau minimal dua-lah. Dari dapil DKI-2. Yang mencakup pemilih luar negeri.
.
Oh iya, di ruang publik biasanya ada tempat pangkas 100 dollar. Lebih murah. Semacam franchise. Ada mesinnya. Kita masukkan uang 100 dollar, kita dapat nomor antrian pangkas. Tapi di sini pangkasnya cepat sekali. Tidak detail. Mungkin karena harganya murah.
.
Di Indonesia, untuk pangkas normalnya sekitar 15-20 ribu rupiah. Kalau tidak di salon mahal. Yang biasa saja. Bahkan ada yang cuma 10 ribu rupiah. Itu pun sudah ikut dipijit oleh abang tukang pangkasnya. Di sini tidak ada dipijit-pijit. Hanya dipangkas saja. Jadi buat kangen dipijit sehabis pangkas. Biasanya habis dipijit langsung segar rasanya (32001/08042019).
.
Category Archives: pribadi
Khotbah Serial, Kuliah Kehidupan dalam Gereja
Hari Minggu kemarin (2 Agustus 2015) begitu menarik. Puji Tuhan, tetap selalu ada hal-hal yang bisa diceritakan. Kebaikan-kebaikan Tuhan tak pernah habis dalam kehidupan ini. Biarlah hati-jiwa-roh dan tubuh ini selalu mengucap syukur kepada Tuhan Sang Pencipta.
Waktu sore hari sengaja aku siapkan untuk beribadah ke gereja. Selepas penat seminggu, ternyata diri ini tidak hanya butuh makanan-minuman jasmani, ataupun ilmu dan keterampilan saja. Ternyata itu semua sifatnya duniawi. Kehausan pada hal-hal rohani ternyata menggerogoti diri. Beruntung Tuhan siapkan sesuatu yang sangat baik kemarin itu. Kaki melangkah mantap tepat pukul 18.00 mengikuti ibadah di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Filadelfia, Bintaro.
Pdt. R. A. Waney, M.Th, seorang tokoh yang cukup terkenal baik pada lingkungan gereja-gereja di Indonesia, terutama di jajaran GPIB memberikan khotbah serial. Khotbah serial? Ya. Pertama kali mengenal istilah ini ternyata cukup menarik bagiku. Pdt. Waney, seorang lulusan theologi dari Amerika, membawakan khotbah dengan satu thema menarik yang cukup mengena dengan berbagai aspek dalam kehidupan spiritual praktis: dalam keluarga, lingkungan, gereja, dan bernegara. Khotbah-khotbah ini disajikan secara berseri, satu sama lain saling terkait hingga membentuk satu kesatuan thema yang utuh, satu visi, satu tujuan. Continue reading
Informasi Itu Ada di Mana Saja
Hari kedua di bulan Agustus. Aku habiskan setengah hari untuk memperbaiki blog ini. Selepas itu perut mulai berseru-seru karena lapar. Entah dapat inspirasi dari mana, pilihan jatuh ke warung mie ayam favorit. Letaknya di dalam gang di depan Bintaro Sektor 4 (masuk dari samping Indomaret yang baru buka, ya sangat baru, sepertinya baru dibuka hari ini; kemarin masih dibenahi).
Warung mie ayam ini cukup terkenal dan laris. Rasanya enak dan porsinya cukup banyak. Ditambah lagi sepertinya memang komposisinya cukup sehat. Sayurnya cukup banyak. Menurut rasa di lidah, memang prediksiku tidak memakai (atau mungkin sangat sedikit) MSG (Monosodium Glutamate). Ditambah memang ‘mas dan ‘mbak, pasangan pemilik warung yang ramah dan baik hati. Continue reading
Introducing My New Personal Website
Catatan Dimas Salomo J. Sianipar
Last weeks were really a rush. Beberapa pekerjaan riset menyita waktu di sela-sela perkuliahan yang begitu penting. Mengolah data, melakukan analisis, menulis, validasi hasil dan diskusi adalah hari-hari yang dilalui. Dua hari terakhir ini merasa amat sangat jenuh. Titik kulminasi rasa kesadaran tentang arti visi dan bagaimana mencapai visi itu lewat misi-misi dalam kehidupan sehari-hari. Bukan visinya yang salah. Cara menjalani misi-misinya yang salah. Begadang (kurang tidur), pola makan yang kacau, saat teduh (waktu bersama Tuhan) yang sering terabaikan, kerapian dan kebersihan kurang terperhatikan. Hobi menulis tidak pernah tersalurkan lagi.
Kalau memilih prioritas hanya sekedar memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting, itu mudah. Banyak anak muda lainnya melakukan hal itu. Pilihannya: belajar/berkarya atau bermain game. Menghadiri seminar atau nongkrong di kafe. Berdiskusi ilmiah atau jalan-jalan ke mall. Itu sudah. Apa yang menjadi prioritas pada hari-hari seorang anak muda menentukan siapa dirinya. Hasil akan sulit untuk mengkhianati proses, sudah begitu hukumnya.
Tapi (semoga aku tidak salah), prioritas di hari-hari ini ternyata berbeda (puji Tuhan). Sudah memilih mana yang lebih penting dari banyak yang penting. Semoga ini yang disebut peningkatan kualitas hidup. Menurutku, peningkatan kualitas hidup dimulai saat berubahnya pemilihan prioritas. Dari memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting menjadi: memilih mana yang lebih penting dari banyak sekali hal yang penting. Continue reading